Denah Lokasi dan Foto Padepokan Sadrach













by Galilean Mission

Makna Kehidupan


Tuhan yang Maha Baik memberi kita ikan,
tetapi kita harus mengail untuk mendapatkannya.
Demikian juga Jika kamu terus menunggu waktu yang tepat,
mungkin kamu tidak akan pernah mulai.
Mulailah sekarang...
mulailah di mana kamu berada sekarang dengan apa adanya.

Jangan pernah pikirkan kenapa kita memilih seseorang untuk dicintai,
tapi sadarilah bahwa cintalah yang memilih kita untuk mencintainya.

Perkawinan memang memiliki banyak kesusahan,
tetapi kehidupan lajang juga memiliki suka-duka.
Buka mata kamu lebar-lebar sebelum menikah,
dan biarkan mata kamu setengah terpejam sesudahnya.

Menikahi wanita atau pria karena kecantikannya atau ketampanannya
sama seperti membeli rumah karena lapisan catnya.
Harta milik yang paling berharga bagi seorang pria di dunia ini adalah
hati seorang wanita.

Begitu juga Persahabatan, persahabatan adalah 1 jiwa dalam 2 raga
Persahabatan sejati layaknya kesehatan,
nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangannya.

Seorang sahabat adalah yang dapat mendengarkan lagu didalam hatimu
dan akan menyanyikan kembali tatkala kau lupa akan bait-baitnya.
Sahabat adalah tangan Tuhan untuk menjaga kita.

Rasa hormat tidak selalu membawa kepada persahabatan,
tapi jangan pernah menyesal untuk bertemu dengan orang lain...
tapi menyesal-lah jika orang itu menyesal bertemu dengan kamu.

Bertemanlah dengan orang yang suka membela kebenaran.
Dialah hiasan dikala kamu senang dan perisai diwaktu kamu susah.
Namun kamu tidak akan pernah memiliki seorang teman,
jika kamu mengharapkan seseorang tanpa kesalahan.

Karena semua manusia itu baik kalau kamu bisa melihat kebaikannya
dan menyenangkan kalau kamu bisa melihat keunikannya
tapi semua manusia itu akan buruk dan membosankan
kalau kamu tidak bisa melihat keduanya.

Begitu juga Kebijakan, Kebijakan itu seperti cairan,
kegunaannya terletak pada penerapan yang benar,
orang pintar bisa gagal karena ia memikirkan terlalu banyak hal,
sedangkan orang bodoh sering kali berhasil dengan melakukan tindakan tepat.

Dan Kebijakan sejati tidak datang dari pikiran kita saja,
tetapi juga berdasarkan pada perasaan dan fakta.
Tak seorang pun sempurna.
Mereka yang mau belajar dari kesalahan adalah bijak.
Menyedihkan melihat orang berkeras bahwa mereka benar
meskipun terbukti salah.

Apa yang berada di belakang kita dan apa yang berada di depan
kita adalah perkara kecil berbanding dengan apa yang berada di dalam kita.

Kamu tak bisa mengubah masa lalu....
tetapi dapat menghancurkan masa kini dengan mengkhawatirkan masa depan.
Bila Kamu mengisi hati kamu ....
dengan penyesalan untuk masa lalu dan kekhawatiran untuk masa depan,
Kamu tak memiliki hari ini untuk kamu syukuri.

Jika kamu berpikir tentang hari kemarin tanpa rasa penyesalan
dan hari esok tanpa rasa takut,
berarti kamu sudah berada dijalan yang benar menuju sukses.


by Galilean Mission

Komunitas Kyai Sadrach




PENDAHULUAN

Masa kekuasaan kongsi dagang Belanda bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kongsi Dagang Hindia-Timur) di Indonesia selama hampir 200 tahun sampai dengan tahun 1795 dan dilanjutkan di bawah penguasaan pemerintahan kolonial Belanda selama kurang lebih 150 tahun, merupakan juga masa sejarah awal penginjilan oleh Protestan di Indonesia.

Dalam perkembangannya ternyata bukan hirarki Gereja atau Zending yang menimbulkan jemaat Kristen di Jawa tetapi hasil dari inisiatif sendiri para pekabar Injil awam (Indo Eropa/Belanda non-Gereja)[1] yang mengadakan pembinaan kelompok kecil Kristen Jawa termasuk Kiai Jawa di rumahnya. Dari “Gereja Rumah” inilah menjadi tempat belajar penginjil-penginjil besar pribumi di Jawa pada abad XIX yang tercatat dalam sejarah seperti di antaranya Paulus Tosari, Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach.

Hal yang menarik dari sejarah pada masa itu adalah penginjilan dari seorang pribumi bernama Sadrach, yang mencapai sukses besar dalam jumlah orang yang dikristenkan dibanding hasil kerja petugas zending pada abad XIX tersebut. Pada masa hidupnya, Sadrach pernah menjadi seorang pemimpin Jawa yang terhormat dari Gereja terbesar di Jawa. Sadrach merupakan contoh kepemimpinan Kristen mandiri dengan mengembangkan jemaat pribumi yang sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Jawa. Karena alasan inilah pekabar Injil Belanda menaruh kecurigaan pada kepemimpinan dan jemaat Sadrach.

Tulisan dalam buku kecil ini bersumber dari beberapa tulisan dalam buku yang berkaitan dengan kehidupan Kyai Sadrach terutama berasal dari buku berjudul Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada Abad XIX. Buku tersebut merupakan karya disertasi teologi oleh Pdt Soetarman Soediman Partonadi, ketika menyelesaikan studi Doktor pada Vrije Universiteit di Amsterdam pada tahun 1988. Buku tersebut telah memberikan gambaran yang benar tentang usaha kontekstualisasi Sadrach yang direfleksikan dalam jemaatnya.


I

JAWA TENGAH PADA ABAD XIX

Fragmentasi gambaran Jawa Tengah pada abad XIX dalam kaitannya dengan sejarah Sadrach dibagi dalam dua bagian yaitu pertama, mengenai gambaran kehidupan sosial budaya dan keagamaan masyarakat Jawa, kedua, mengenai gambaran misi Kristen di Jawa Tengah terutama aktivitas NGZV (de Nederlandsche Gereformeerde Zendings Vereeniging).

A. Kehidupan Orang Jawa pada Abad XIX

Struktur masyarakat feodalistik sangat berkembang saat itu membentuk pembagian golongan dalam masyarakat yang terdiri dari rakyat biasa atau wong cilik (orang kecil), sedangkan kelompok lainnya disebut sebagai bangsawan (priyayi) atau wong gedhe (orang besar). Priyayi merupakan perpanjangan tangan pemerintah kolonial untuk mengatur rakyat dan kraton menjadi pusat budaya dan hidup orang Jawa. Oleh karena itu hubungan antara wong cilik dengan priyayi berpolakan hubungan kawulo-gusti (pelayan-majikan) yang bersifat otoriter dan paternalistis.

Buruknya kondisi sosial ekonomi dan penindasan yang dilakukan oleh pihak penguasa baik Belanda maupun priyayi sering menimbulkan gerakan perlawanan oleh rakyat biasa. Aksi ini digerakkan oleh pemimpin informal yang berani yaitu guru-guru agama tradisional (kiai dan guru) sehingga mereka dianggap sebagai pahlawan pelindung rakyat biasa. Pemerintah kolonial Belanda selalu waspada serta menghindari konflik agama dengan guru-guru agama tradisional yang memiliki pengaruh kuat agama Islam. Oleh karena itu demi memelihara perdamaian dan ketertiban umum, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan represif berupa berbagai peraturan untuk membatasi misi Kristen hanya di daerah-daerah tertentu saja.

Berdasarkan fakta sejarah, sebenarnya masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang terbuka menerima kepercayaan apapun yang datang dari luar.[2] Seperti diketahui bahwa agama Kristen adalah agama terbesar keempat yang datang di pulau Jawa setelah Hindu, Budha dan Islam. Sedangkan kepercayaan asli yang sudah ada yaitu bentuk mistik (Animisme-Dinamisme). Mistik Jawa atau ngelmu tinggi (pengetahuan keagamaan) diajarkan di sekolah mistik yang disebut peguron Jawa (sistem pemuridan) dan dipimpin oleh guru atau kiai. Kehidupan mereka biasanya moralis dan menekankan perilaku kehidupan yang baik melalui disiplin keras seperti: puasa, tirakat, tapa dan semedi. Upacara religius dari kepercayaan ini kemudian diserap oleh penganut Islam abangan Jawa seperti slametan.

B. Misi Kristen pada Abad XIX

Misi Kristen masuk di Indonesia bersamaan dengan imperialisme baik yang dilaksanakan oleh Gereja Katolik Roma (GKR) pada abad XVI dalam naungan Portugis maupun misi Gereja Protestan yang dibawa oleh Belanda sejak tahun 1605 melalui misi VOC dan misi Indische Kerk. Misi pada saat itu dianggap sebagai milik Negara dan Gereja, oleh karena itu masyarakat pribumi memberikan stigma terhadap Kristen sebagai agama penjajah.

Konsep pemisahan Gereja dan Negara pada abad XIX di Eropa seiring dengan tumbuhnya semangat pekabaran Injil telah menyebabkan perubahan besar dalam pekabaran Injil di Belanda dan juga di Hindia-Belanda. Berbagai usaha penginjilan telah dilakukan baik oleh Gereja maupun organisasi misi. Penginjilan yang dilakukan oleh Gereja ditandai pada tahun 1835 dengan lahirnya Indische Kerk yaitu Gereja Protestan yang merupakan hasil penyatuan dari berbagai denominasi di Indonesia saat itu. Gereja ini disebut juga sebagai “Gereja Negara” namun bukan bertujuan menyebarkan agama Kristen, melainkan hanya melayani umat Kristen yang telah ada.[3] Oleh karena itu tentu saja misi Kristen terhadap masyarakat pribumi kurang diperhatikan. Merasa prihatin dengan keadaan ini maka kelompok pekabar Injil Belanda mulai melakukan kegiatannya di berbagai wilayah seperti NZG (het Nederlandsch Zendeling Genootschaap-Perserikatan Pekabar Injil Belanda) dengan mengirimkan Jellesma pada tahun 1848 yang menandai dimulainya Kristenisasi di Jawa. Selain itu ada juga organisasi misi NGZV (Nederlandsch Gereformeerde Zending Vereeniging-Pekabaran Injil Gereja Gereformeerd Belanda) memiliki wilayah kerja di Jawa Tengah, Perserikatan Injil Menonite Belanda DZV (Doopsgezinde Zendins Vereeniging) memiliki wilayah kerja antara lain Tapanuli Selatan dan bagian utara Jawa Tengah. Jemaat-jemaat Kristen yang dihasilkan lembaga misi tersebut sangat minim dan bersifat eksklusif karena menuntut pemisahan radikal dari budaya pribumi.

Sejarah kekristenan di Jawa Tengah dan Timur justru berasal dari hasil kerja orang-orang awam pensiunan Belanda dan Indo yang mengabdikan hidupnya bagi Kristus. Mereka melakukan kegiatan misi sebelum datangnya organisasi-organisasi pekabar Injil dari Eropa. Diantara penginjil tersebut adalah Emde (lahir 1774), Coolen (1773-1873)[4], FL Anthing (1820-1883), CP Steven-Philips (1824-1876), JC Philips-van Oostrom (1815-1877) dan lain-lainnya.[5] Mereka berhasil membangun jemaat yang bersifat integratif yaitu jemaat Jawa yang tetap menjadi bagian dari budaya dan masyarakat setempat dan jemaat ini dapat tumbuh dengan pesat.

Adapun hambatan pekabaran Injil pada masa itu adalah bahwa orang Jawa masih memandang pekabar Injil Belanda sebagai bagian dari rezim kolonial akibatnya timbul pandangan negatif terhadap para pekabar Injil dan kekristenan. Bahkan orang Kristen Jawa disebut sebagai “landa wurung, Jawa tanggung” artinya mereka bukan orang Belanda maupun orang Jawa. Masyarakat masih menganggap bahwa menjadi Kristen berarti meninggalkan cara hidup “kejawaan” sehingga Kristen lebih dipandang sebagai anti kebudayaan.

II

SADRACH DAN KOMUNITASNYA

Riwayat kelahiran Sadrach tidak begitu jelas diketahui, tetapi berdasarkan sumber yang dapat dipercaya seperti Adriaanse, Yotham Martareja dan Hayting maka Sadrach diperkirakan lahir sekitar tahun 1835 di dekat Jepara, Demak, yaitu daerah pantai bagian utara Jawa Tengah. Nama aslinya adalah Radin, setelah menyelesaikan sekolah umum yaitu sekolah Alquran serta belajar di berbagai pesantren di Jawa Timur lalu kemudian ia tinggal dalam kauman (tempat tinggal muslim yang eksklusif) di Semarang dan menambah nama Arab pada namanya menjadi Radin Abas.

Ketertarikannya kepada Kristen adalah setelah mengetahui bahwa bekas guru ngelmunya, Kurmen telah menjadi Kristen oleh penginjil Tunggul Wulung. Radin Abas sangat serius dan terkesan dengan pengajaran Tunggul Wulung dan bersamanya ia pergi ke Batavia pada tahun 1866 untuk menemui Anthing. Ia mengambil keputusan untuk dibaptis pada tanggal 14 April 1867 di Indische Kerk, Buitenkerk, dengan mengambil nama baptis Kristen yaitu Sadrach (dalam Alkitab tokoh Sadrach disebutkan dalam Kitab Daniel 3).

Setelah kembali dari Batavia, maka Sadrach mulai membantu penginjilan yang dilakukan oleh Tunggul Wulung di Semarang pada tahun 1868, serta oleh Steven-Philips di Tuksanga, Purwareja setahun kemudian. Ternyata Sadrach memiliki bakat yang besar dalam penginjilan, dalam melakukan penginjilan dia menggunakan metode debat umum yang dipakai guru-guru Jawa, yaitu dengan menantang guru lain untuk berdebat. Guru yang dikalahkan beserta murid-muridnya harus menjadi murid guru yang menang.

Sadrach tinggal bersama Steven-Philips kurang lebih satu tahun sebelum pindah ke Karangjasa sebuah desa di selatan Purworejo. Karangjasa adalah desa pertama tempat Sadrach mendirikan sebuah jemaat Kristen Jawa setempat. Karangjasa menjadi pusat jemaatnya yang mandiri namun Sadrach tetap menganggap Steven-Philips sebagai “pelindung formalnya”, “figur yang menjembatani” dengan para penguasa Belanda, termasuk Indishe Kerk dan pekabar Injil Belanda. Semua murid Sadrach dibaptis oleh pendeta dari Indische Kerk di Purwareja berkat perantaraan Steven-Philips. Pada tahun 1871 gedung Gereja pertama berdiri di Karangjasa sehingga jemaat tidak perlu lagi mengadakan perjalanan ke Purwareja setiap minggu untuk melakukan kebaktian.

Pada akhir tahun 1873 keanggotaan jemaatnya sudah mencapai hampir 2500, suatu hasil yang fantastik dalam sejarah pekabaran Injil Jawa. Sebab jumlah besar ini dicapai hanya dalam waktu 3 tahun (1870-1873), selama masa itu lima Gereja telah didirikan. Setelah meninggalnya Steven-Philips pada tahun 1876, pusat kekristenan Jawa berpindah dan berkembang dari Tuksanga, Purwareja ke Karangjasa, ini membuktikan bahwa Sadrach merupakan seorang Kiai Kristen Jawa yang berpengaruh. Hal ini ditandai pula dengan penambahan nama “baru”nya menjadi Radin Abas Sadrach Surapranata.

Pesatnya ekspansi jemaat Sadrach membuat pemerintah setempat (Residen Bagelen, W Ligvoet), Indische Kerk (pendeta Heyting) maupun NGZV (Bieger) ingin mengatur dan mengawasi jemaat tersebut dengan berbagai alasan baik politis maupun alasan misi yang ingin mengumpulkan “petobat” dengan cepat dan mudah. Sehingga ketika terjadi wabah cacar dimana pemerintah meminta semua orang agar divaksinasi tetapi Sadrach menolak vaksinasi itu maka terbukalah peluang untuk memecat Sadrach dari kedudukannya dalam jemaat.

Meskipun Residen telah menahannya namun kemudian Gubernur Jenderal membebaskannya karena tidak cukup bukti pada tahun 1882. Wilhelm yang dikenalnya ketika menjalani “tahanan rumah” di rumah Bieger merupakan satu-satunya pekabar Injil yang menaruh perhatian pada nasib malang yang menimpa Sadrach.

Pada tanggal 17 April 1883, ketika para sesepuh berkumpul di Kareangjasa, Wilhelm juga hadir. Pada pertemuan tersebut jemaat secara resmi memberi nama persekutuan mereka sebagai Golongane Wong Kristen Kang Mardiko (Kelompok orang Kristen yang merdeka) dan mengakui Wilhelm sebagai satu-satunya pendeta mereka. Pada saat itu hasil penginjilan Sadrach sangat mengagumkan, barangkali bisa dicatat sebagai jumlah orang yang bertobat tertinggi dalam sejarah pekabaran Injil di dunia Muslim.

Berbagai polemik mengenai Sadrach telah sampai kepada pimpinan NGZV di Belanda, oleh karena itu diputuskanlah suatu penyelidikan mengenai jemaat-jemaat di Jawa Tengah dengan mengirimkan Lion Cachet, pendeta sebuah jemaat di Rotterdam, ke Jawa Tengah selama kurang lebih satu tahun (1891-1892). Hasil penyelidikan Cachet telah mengakibatkan putusnya hubungan Sadrach dengan NGZV, ajaran Sadrach dinilai salah, bahkan merupakan kebohongan jika diukur dengan sabda Tuhan. Wilhelm yang sangat tertekan akibat tuduhan ini jatuh sakit dan meninggal pada tanggal 3 Maret 1892.

Namun peristiwa tragis tersebut malah membuat posisi Sadrach semakin kokoh. Di sisi lain, Sadrach juga membina hubungan dengan Apostolische Kerk (yang dianggap suatu sekte). Pada tahun 1899, Sadrach ditahbiskan menjadi Rasul Jawa di Batavia. Kedudukan rasul ini diakui internasional oleh karena itu sekarang ia memiliki hak untuk memberikan sakramen, hak yang sangat didambakannya bertahun-tahun. Sejak saat itu kedudukan Sadrach sebagai pemimpin Gereja adalah sejajar dengan pemimpin Gereja yang lain demikian juga jemaatnya sejajar dengan kelompok jemaat yang lain.

Pada tanggal 14 November 1924 dalam usia 90 tahun, tokoh besar dalam pekabaran Injil di Karangjasa, Radin Abas Sadrach Surapranata, meninggal dengan tenang dirumahnya. Yotham Martareja, anak angkat Sadrach menggantikan ayahnya selama delapan tahun (1925-1933). Perubahan ini selanjutnya juga mempengaruhi perkembangan jemaat Kristen saat itu.

Dalam ketiadaan pemimpin berkepribadian kuat serta adanya kebijakan pekabaran Injil yang baru oleh ZGKN yang dikelola secara professional, telah dibangun sekolah-sekolah dan rumah sakit misi yang menawarkan kualitas hidup lebih baik. Jemaat Sadrach semakin tertinggal jauh dan pada akhirnya jemaat Sadrach, “Gereja” terbesar di Jawa Tengah pada masa hidup Sadrach, berakhir dengan perpecahan yang tak terelakkan sepuluh tahun setelah kematian pendirinya.


III

GAMBARAN KOMUNITAS SADRACH

Ciri-ciri khas dan karakter unik dari jemaat Sadrach meliputi tiga bidang yaitu: 1. organisasi, kepemimpinan dan keanggotaan; 2. kebaktian, khotbah dan upacara keagamaan; 3. kehidupan rohani dan jiwa yang mandiri dan merdeka.

Sadrach adalah guru ngelmu dan kiai yang sengaja tidak menaruh perhatian besar pada aspek kelembagaan jemaat. Jemaat lebih bersifat mistis, lebih menekankan spiritualitas ketimbang kelembagaan Gereja. Minimnya sarana transportasi dan komunikasi sedangkan jemaat tersebar pada desa yang berjauhan namun kesatuan antar jemaat tetap dapat dipertahankan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal antara lain yaitu: hubungan guru-murid yang kental, wewenang Sadrach untuk mengangkat imam-imam setempat, rapat rutin para sesepuh yang diadakan di Karangjasa serta kerjasama para pembantu utama Sadrach. Wilhelm juga berperan membentuk jemaat menjadi “Gereja yang benar”, seperti dilihat dari perumusan pengakuan iman yang unik, pembentukan majelis sinode dan pembentukan jabatan sesepuh (penatua) serta diaken.

Saat itu Sadrach menduduki tempat teratas di antara guru-guru Jawa yang lain dengan sebutan khusus Kiai. Jemaat Sadrach pernah mencapai angka 7000 pada tahun 1890 dan mencapai 20.000 pada saat Sadrach meninggal.[6] Jemaat tersebar di seluruh keresidenan Jawa Tengah termasuk pada dua kerajaan saat itu yaitu kesultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Pemberitaan Yesus Kristus sebagai ratu adil penyelamat tampaknya menjadi unsur penarik dalam ngelmu Sadrach.

Jemaat Sadrach mempunyai format kebaktian dan sistem ritual sendiri yang terikat erat dengan tradisi Jawa yang ada, ini terlihat dari bentuk Gereja yang mirip langgar atau mesjid serta pemakaian busana Jawa pada kebaktian. Ada tembang dan dzikiran yang berisi Sepuluh Hukum Allah, Pengakuan Iman Rasuli dan Doa Bapa Kami. Sadrach menyusun buku pegangan sebagai panduan praktis bagi para pengikutnya berisi Doa Bapa Kami dan Sepuluh Perintah Allah bersama ringkasan hukum yang terdapat dalam Matius 22: 37-40. Ketika debat umum yang digunakan dengan guru ngelmu Jawa di dalam mengabarkan Injil, Sadrach menyatakan bahwa Yesus adalah Nabi yang luar biasa karena kebangkitan-Nya dan menjadi Juruslamat yang dapat menyelamatkan semua orang berdosa. Yesus melebihi Nabi lainnya dan kita harus taat kepada Nabi yang paling berkuasa dan mengikuti teladan-Nya. Usaha para anggota jemaat Sadrach untuk mengkristenkan adat dan tatacara muslim Jawa mengesankan, mereka tetap mempertahankan warisan leluhur tanpa mengingkari iman baru mereka dengan mengutamakan kebaktian dan doa ucapan syukur dan dilanjutkan dengan adat kebiasaan Jawa. Sadrach menolak tatacara adat slametan untuk menghormati roh yang sudah meninggal, suran pada bulan sura dan muludan.

Kehidupan spiritual baru jemaat Sadrach terlihat dari cara kehidupan ngelmu (berorientasi kepada diri sendiri) berangsur-angsur diubah menjadi kehidupan dalam Kristus (penyangkalan diri). Perilaku jujur Sadrach mempengaruhi kehidupan jemaat sehingga menjadi saksi pemasyuran Injil yang efektif ditengah-tengah masyarakat Jawa yang bukan Kristen. Sadrach menentang keras poligami, pelacuran dan melarang pesta tradisional tayuban. Mereka tetap menjaga hubungan baik dengan tetangga muslim. Jemaat benar-benar menyadari bahwa sebagai pengikut ratu adil Yesus Kristus, mereka harus menaati perintah-Nya. Guru Injil dan para imam Jawa menganggap Sepuluh Perintah Allah sebagai ngelmu dari ratu adil yang harus ditaati. Mereka menganggap ngelmu yang diajarkan ratu adil Yesus, lebih unggul dibanding segala ngelmu yang lain. Sebagai jemaat yang bebas dan mandiri (mardiko) maka masalah kemiskinan diatasi melalui semangat gotong royong menyewa tanah untuk dibagikan kepada kaum miskin.


IV

ISU-ISU YANG DIANGKAT MELAWAN SADRACH DAN KOMUNITASNYA

Tuduhan yang paling menonjol pada saat itu terhadap Sadrach dan jemaatnya pada saat itu adalah berkaitan dengan penyimpangan konfesional. Seperti diketahui bahwa para pakar Gereformeerd sangat menentukan arah teologi pekabaran Injil yang khas dari NGZV. Pada saat itu tujuan pekabaran Injil berkembang untuk memenangkan jiwa-jiwa bagi kemulian Tuhan. Gereja adalah pemilik misi sedangkan organisasi misi seperti NGZV adalah pengganti sementara Gereja dalam menjalankan misi. Kemurnian pemberitaan firman dan mempertahankan iman yang ortodoks adalah ciri pekabaran Injil Gereformeerd yang eksklusif pada saat itu, tujuan utama pekabaran Injil adalah mendirikan Gereja sebagai institusi. Pada abad XIX, kriteria dari Gereja Gereformeerd menjadi tolok ukur satu-satunya bagi para pekabar Injil untuk menentukan ajaran benar dan ajaran sesat. Lion Cachet menggunakan standar ini untuk mengukur kehidupan jemaat Kristen di Jawa Tengah.

Tuduhan yang paling keras terhadap Sadrach baik sebelum maupun sesudah peristiwa vaksinasi adalah bahwa dia menyatakan dirinya sebagai Kristus atau ratu adil dan Sadrach dianggap telah melakukan penipuan terhadap umatnya dengan memutarbalikkan ajaran demi kemulian dan status sosialnya. Isu ini tentu saja dilontarkan oleh para pekabar Injil yang selama ini tidak senang dengan cara penginjilan Sadrach yang menolak untuk bekerjasama dengan mereka. Para pekabar Injil menganggap bahwa Sadrach perlu dibina dan tidak boleh menempati kedudukan sebagai pemimpin jemaat. Oleh karena itu pertentangan Sadrach dengan para pekabar Injil sebenarnya bukan karena masalah doktrin, melainkan masalah kekuasaan atau kalau boleh disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan penjajahan rohani.[7]

Persoalan lain yang mendasar menyangkut ajaran Sadrach adalah tuduhan sinkretisme, ia dituduh telah mencampuradukkan Jawa-isme dengan Injil. Ajaran ngelmu, ratu adil, adat Jawa dari sudut pandang Gereformeerd pada saat itu dianggap memutarbalikkan ajaran Kerajaan Allah. Namun Sadrach bersikeras bahwa petobat Jawa tetap merupakan orang Jawa, ia membela dan mendukung pelestarian adat yang berfungsi memperkaya kehidupan spiritual jemaat.

Secara garis besar tuduhan yang diangkat untuk melawan Sadrach, oleh penulis buku dibagi menjadi dua jenis yaitu, tuduhan yang tidak mendasar dan tuduhan yang mendasar. Semua tuduhan yang mendasar berpangkal tolak dari perbedaan pendapat mengenai sifat utama dan penerapan kontekstualisasi dalam praktek pekabaran Injil kepada orang-orang Jawa. Menurut penulis para penginjil Barat memandang kontekstualisasi dari sudut pandang yang berbeda sebab pedoman teologis mereka belum cukup komprehensif sehingga mereka lebih mengandalkan semangat, inisiatif dan kreativitas dalam melaksanakan tugas di lapangan.


V

MAKNA SUMBANGAN KOMUNITAS SADRACH BAGI UPAYA KONTEKSTUALISASI GEREJA

Sadrach telah mengembangkan suatu jemaat Kristen pribumi yang direfleksikan kepada organisasi, kepemimpinan, pengajaran dan tradisi. Namun dia membentuk jemaat bukan hanya berdasar nilai-nilai tradisional dan adat istiadat Jawa, melainkan juga melakukan koreksi kritis terhadap pembangunan jemaat dan adat istiadat itu sendiri. Sadrach telah memelopori suatu ekspresi kepercayaan Kristen yang mengakar dalam hati, pikiran, perasaan, pengalaman, kebutuhan, keinginan dan harapan serta aspirasi jemaat setempat.

Jemaat Sadrach yang berbasis pedesaan dan berlatar belakang Islam abangan tetap menjaga hubungan dengan masyarakat Islam pada umumnya. Ia sangat cerdas memilih adat atau tradisi Jawa yang dapat “dikristenkan” dan tidak terikat dengan tradisi Islam serta memilih simbol-simbol Jawa yang ada pada Kristus. Oleh karena itu dia berhasil meletakkan dasar transformasi budaya dengan membentuk budaya baru yaitu budaya Kristen yang berwatak pribumi.

Pemahaman Sadrach tentang partisipasi masyarakat pribumi merupakan suatu prestasi tersendiri dalam masyarakat Jawa pada abad XIX. Ia melakukan perjuangan kebebasan sosial-politik dengan prinsip kasih tanpa kekerasan, hal ini berbeda dengan kebiasaan saat itu. Sehingga Sadrach menjadi sosok pembawa berita pembebasan bagi “wong cilik” yang dimarginalkan. Namun demikian Sadrach harus dilihat sebagai pemimpin religius daripada pemimpin politik karena ia mampu mengatasi penilaian negatif atas teologinya karena telah menghadirkan kekristenan dalam terang baru dan lebih bersifat Jawa.

Harus diakui bahwa Sadrach mampu membangun suatu teologi yang membuat iman Kristen mudah dikomunikasikan kepada para pendengarnya, merefleksikan makna kehidupan dalam hubungannya dengan nilai-nilai, sumber-sumber dan tujuan akhir kehidupan. Kristologi Sadrach adalah memberitakan bahwa jejak Sang Guru Yesus sebagai guru dan panutan yang sempurna, penuh kuasa dan berwibawa.

Mengenai misi dan budaya maka Sadrach menggunakan metode yang berproses secara alami dengan pola interaksi melalui proses inkulturasi sehingga merangsang proses transformasi budaya. Hasilnya adalah jemaat Kristen pribumi asli menurut pola budaya setempat, sehingga budaya Jawa akan ditransformasikan dalam Kristus dan karya Kristus yang membebaskan itu mewujudnyata dalam segala aspek kehidupan. Hal ini mengingatkan kita kepada teolog dari Asia, Choan Seng Song yang menjelaskan bahwa teologi kontekstual harus mampu menjawab pertanyaan dari interaksi antara penafsiran ulang iman Kristen dengan suatu konteks budaya dan sejarah.[8]


PENUTUP

Kita sadar bahwa ditengah perkembangan pesat pemikiran intelektual dan informasi dalam segala aspek termasuk mengenai teologi dan metode misi, Kita telah menyaksikan bahwa di negara tercinta ini lebih dari satu setengah abad yang lalu pernah ada seorang anak Tuhan bernama Sadrach yang sudah memiliki hasil karya dalam melakukan misi dan pembangunan jemaat, pemikiran dan hasil karya tersebut masih relevan dengan konteks abad ini.

Proses kontekstual teologi memang seyogyanya memperhatikan situasi sosial-budaya masyarakat sehingga berita keselamatan dapat diterima dan diaplikasikan dalam sistem kemasyarakatan tersebut. Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam tentang firman Allah sehingga kita tidak tertawan kedalam sikap ortodoks tetapi harus mampu untuk melakukan tindakan yang benar di dalam dunia di mana kita berada. Namun demikian tidak berarti umat Kristen memisahkan diri dengan yang universal karena kita tetap harus saling menghargai dan tidak memaksakan kebudayaan kita sendiri kepada orang lain.

Dari buku ini kita dapat merefleksikan dalam realitas konteks masyarakat saat ini yaitu masyarakat dengan kemajemukan agama dan budaya serta sebahagian besar masih hidup dalam kemiskinan. Oleh karena itu hendaklah kita mengakui terlebih dahulu bahwa misi adalah milik Allah (missio Dei), misi bukanlah hal yang eksklusif dan mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kita harus mau untuk berdialog dengan yang lain, kata-kata merebut, menguasai, mengambil atau merampas kita ganti dengan kata berbagi bersama yang lain baik dengan sesama maupun seluruh ciptaan-Nya di dunia ini.

Melalui buku ini penulis seakan hendak mengatakan Kristen tidak perlu khawatir dengan kebudayaan, bukankah kebudayaan itu juga merupakan ciptaan dan karya Allah melalui akal pikiran yang diberikan kepada umat-Nya?


[1] C Guillot, Kyai Sadrach : Riwayat Kristenisasi di Jawa (Jakarta: GrafitiPers, 1985), 20-21.

[2] Hadi Purnomo et al ( Ed ), GKJ- Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen,1988), 20-21.

[3] C Guillot, Kyai Sadrach : Riwayat Kristenisasi di Jawa (Jakarta: GrafitiPers, 1985), 6.

[4] C Guillot, Kyai Sadrach : Riwayat Kristenisasi di Jawa (Jakarta: GrafitiPers, 1985), 39.

[5] Sutarman S Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya (Jakarta: Gunung Mulia: Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2001), 47-50.

[6] Sutarman S Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya (Jakarta: Gunung Mulia; Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2001), 149,150.

[7] Patmono, SK, Sadrach Sang Pamong ( Yayasan Cipta Sejahtera Indonesia, 1994), 121

[8] Daniel J Adams, Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat di Asia ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 92


by Galilean Mission