Filsafat


Sore itu Mina tidur sore, karena hari berikutnya harus pergi menemani anaknya, Nina ke Cibodas bersama teman-teman sekolah untuk studi lapangan. Sulit tidur. Ketika tertidur sudah menjelang subuh. Segala persiapan berlangsung cepat. Mereka berangkat. Bis berjalan ngebut. Tiba di dekat Ciloto bis oleng. Menabrak satu motor, tiga mobil dan akhirnya menceburkan diri ke dalam jurang, belasan meter. Beberapa anak mati, termasuk Nina. Mina sendiri luka ringan. Di rumah sakit, ia menggugat Tuhan, atau entah siapa: kenapa bukan dirinya; kenapa harus Nina yang mati. Hatinya lebih sakit lagi, karena kakak Nina juga baru saja mati ditusuk temannya sendiri, sesudah bertengkar soal pacar. Waktu menggugat ke sekolah dan perusahaan bis, Mina diberi lima juta santunan. Dalam hati Mina masih tidak tenang: Itukah harga anaknya? Itukah harga orang-orang itu.


Tak jauh dari rumahnya, Mina terkejut karena puluhan polisi pamong praja sedang membongkar rumah ratusan gelandangan. Seminggu sebelumnya mereka juga sudah diancam untuk dibongkar, karena tidak mempunyai ijin tinggal. Tetapi mereka meratap untuk mendapat pengampunan. Tiada ampun bagi mereka. Pada hari eksekusi ini orang-orang ini diusir. Terserah akan tinggal di mana. Rumah mereka dihargai 5 juta. Walau rumahnya sendiri tidak ikut tergusur, Mina tidak habis berpikir: Sekiankah harga orang-orang ini? Kalaulah kardus dan bungkusan pakaian orang-orang ini memang tidak semahal itu, semurah itukah taksiran Pemda atas orang gelandangan itu? Sepertinya, lembu di pasaran masih lebih mahal? Apalagi singa di Taman Safari!
Waktu rapat Rukun Warga Mina masih penasaran. Apalagi banyak tetangganya juga tidak mau diam. Sebenarnya, dianggap apa sih warga negara ini? Sesungguhnya para pimpinan rakyat ini bagaimana? Menjelang Pemilihan Gubernur, mereka merayu rakyat: seakan-akan rakyat ini ratu kecantikan yang dipuja di mana dan dibutuhkan. Tidak segan-segan para calon pemimpin itu membuang bermilyard uang untuk mendapat suara.
Rakyat ini apa sih? Manusia ini apa sih? Yah. sampai ke situ juga akhirnya: buat kita manusia ini apa ya? Onggokan daging yang kebetulan masih bernafas? Atau akhirnya seperti di mata salah satu pimpinan di Afrika sekian puluh tahun yang lalu, manusia itu ya tidak lebih dan tidak kurang hanya bakal pengisi lemari es: jadi ya hanya bahan santapan orang kuasa!

Kalau sedang kalut pikirannya: manusia dapat mempertanyakan diri sendiri: manusia ini apa. Namun banyak leluhur kita sudah mengajukan pertanyaan serupa: manusia itu apa? Pertanyaannya belum sampai ke "manusia itu siapa?" Pertanyaan itu, tidak senantiasa merupakan pertanyaan kaum cerdik pandai atau mereka yang 'tidak punya kerjaan' sehingga dalam waktu luang itu membiarkan pikiran mengembara: "manusia itu apa" dan "manusia itu siapa". Bila tidak sampai terjawab, memang pertanyaan itu tidak akan menyebabkan manusia saling membunuh; namun menggelitik juga. Itulah pertanyaan yang menyebabkan filsafat tumbuh dan berkembang. Sebab pertanyaan itu akan dapat bercabang-cabang.

1. a) filsafat sebagai “cinta kebijaksanaan”: berasal dari kata philos (=cinta) dan sophia (=kebijaksanaan); dalam arti ini filsafat berarti usaha tanpa henti mencari kebenaran.
b) filsafat adalah ilmu mengenai segala sesuatu dari sudut adanya: artinya filsafat bertugas mencari hakikat/asas/esensi/prinsip dasariah dan memeriksa asumsi-asumsi yang mendasarinya.
2. a) filsafat sebagai “cinta kebijaksanaan”: berasal dari kata philos (=cinta) dan sophia (=kebijaksanaan); dalam arti ini filsafat berarti usaha tanpa henti mencari kebenaran.
b) filsafat adalah ilmu mengenai segala sesuatu dari sudut adanya: artinya filsafat bertugas mencari hakikat/asas/esensi/prinsip dasariah dan memeriksa asumsi-asumsi yang mendasarinya.

Filsafat berasal dari kata philosophia, yang berarti "cinta akan kebijaksanaan". Timbul pertanyaan, apakah yang disebut "cinta" dan apa yang disebut "kebijaksanaan". Seseorang tidak dapat disebut mencintai sesuatu, kalau ia tidak pernah memikirkan hal itu. Namun apabila seseorang setiap detik memikirkan sesuatu, apakah dapat dikatakan bahwa ia mencintai sesuatu itu? Juga kalau sesuatu itu adalah seseorang? Apa artinya suka? Senang? Menyukai atau menyenangi? Lalu kebijaksanaan: apakah dapat disebut bijaksana, kalau seseorang menembak begitu saja seorang pemuda gondrong yang dikira pencopet di tengah pasar? Apakah bijaksana kalau selama kurun waktu tertentu setiap penjahat ditembak di tempat? Apakah bijaksana kalau setiap pemerkosa dihukum gantung di tengah kota? Apakah bijaksana kalau kita mengawinkan anak yang baru berusia 14 tahun? Siapa yang menentukan bahwa tindakan A atau B itu bijaksana? Lalu apa artinya "mencintai kebijaksanaan"? Apakah ‘kebijaksanaan’ itu dapat diilmukan?

Kebijaksanaan yang diminta oleh seseorang kepada polisi lalu lintas karena ia baru saja melanggar lampu merah; itukah kebijaksanaan yang dicari orang? Apakah kebijaksanaan yang dipilih oleh seorang wasit guna meniup peluit dan menentukan pinalti: itu kebijaksanaan seperti dimaksudkan dalam 'philosophia'? Ataukah yang dicari seperti yang diajarkan oleh para petapa? Jadi kebijaksanaan itu hanya ditemukan di gua-gua dan dalam permenungan yang penuh rahasia?

Dalam ucapan "Allah dengan kebijaksanaanNya telah mengirim AnakNya menjadi manusia dan menyerahkanNya kepada orang jahat untuk dibunuh", itukah kebijaksanaan yang dimaksudkan? Lalu siapa yang dapat mengembangkan kebijaksanaan Allah? Siapa yang dapat mengulang-ulang kebijaksanaan Allah, sebagaimana seharusnya dapat dilakukan dalam dunia ilmu? Apakah kebijaksanaan itu sesuatu yang dapat diilmukan? Lalu apa hubungan filsafat dengan program Magister Ministri?
Filsafat lebih dekat dengan masalah kepribadian ataukah masalah keilmuan? Adakah hubungannya dengan psikhologi kepribadian? Jadi mana yang kita butuhkan: psikhologi ataukah filsafat?

Kadang kala ada ahli filsafat berbicara mengenai politik dan etika. Apa hubungan antara politik dan filsafat dan antara etika dengan filsafat? Bagaimana kaitan antara masalah politik dan etika dengan pelayanan suatu jemaat? Hidup kegerejaan harus erat ataukah harus dibedakan ataukah harus dipisahkan dengan hidup berpolitik? Bukankah kecenderungan sekarang adalah jangan sampai jemaat sebagai jemaat diseret masuk dalam pertengkaran politis? Bukankah banyak orang sudah menolak mempolitikkan agama dan mempolitikkan etika dst? Lagi pula, siapakah masih mempedulikan etika dalam berpolitik dan berdagang? Bukankah ekonomi akan berhenti apabila harus mengingat norma-norma moral? Jadi filsafat itu melambatkan usaha dagang dan berpolitik? Kalau demikian filsafat itu justru membuat bangsa kita terbelakang? Karena tidak dapat mengembangkan ilmu dan ekonomi seluas-luasnya?
Apalagi kalau dihubungkan dengan teologi yang pegangannya dari Allah sendiri? Adakah peran filsafat dalam berteologi? Jaman sekarang ini teologi kan lebih bebas lagi: setiap orang dapat mengembangkan teologi sesuai dengan situasi dan kondisi hidup maupun jemaatnya? Apa masalah kontemporer sungguh harus dipecahkan dengan filsafat ataukah harus memakai ilmu fisika atau biologi atau ekonomi dll?

Filsafat lebih dekat dengan masalah kepribadian ataukah masalah keilmuan? Adakah hubungannya dengan psikhologi kepribadian? Sejauh manakah ada pertanggungjawaban dalam berfilsafat? Adakah prinsip tertentu dalam filsafat?

Kadang kala ada ahli filsafat berbicara mengenai etika dalam politik. Apa hubungan antara politik dan filsafat? Bagaimana kaitan antara politik, etika dan jemaat? Hidup politik harus pisah dari agama? Padahal di mana-mana sekarang orang membawa pertengkaran politik ke dalam jemaat – dan sebaliknya. Adakah orang yang mempedulikan etika dalam politik? Dalam ekonomi? Dalam keamanan negara? Apakah memang ada hubungannya? Bukankah ekonomi akan macet kalau memakai etika?!

Apalagi kalau dihubungkan dengan teologi, yang acuan dasarnya Allah. Teologi kan mengatasi batas-batas manusia. Apakah bisa memakai filsafat? Juga kalau teologi kontekstual?!

Apakah masalah kontemporer sungguh harus dipecahkan dengan filsafat ataukah harus memakai ilmu fisika, ilmu ekonomi atau ilmu politik?


A. Kita semua adalah filsuf

Kalau kita mengikuti jalan pemikiran di atas, pertanyaan kaum filsuf itu sesungguhnya juga merupakan pertanyaan kita semua. Dalam arti itu, kita semua sedikit banyak adalah filsuf: dengan atau tanpa ijasah sekolah filsafat, dengan atau tanpa gelar apa pun. Tidak terbilang banyaknya orang yang karena itu belajar secara lebih tekun untuk berfilsafat: mendalami filsafat.

Menurut Oxford Companion to Philosophy: filsafat adalah: memikirkan cara dan isi pikiran kita sendiri tentang sesuatu, khususnya tentang diri manusia, tentang keyakinannya, tentang kepercayaannya, mengenai 'percaya dirinya', tentang dunia. Kalau mau lebih teliti lagi: filsafat adalah tindakan untuk secara kritis dan teliti-rasional memikirkan dunia manusia, lebih sistematis dan mendalam daripada yang tampak secara inderawi (maka sering disebut 'metafisik'). Dalam filsafat orang mencoba mempertanggungjawabkan hal hadirnya manusia di dunia ini dan cara orang memandang dunia ini secara keseluruhan (maka sering dikaitkan dengan 'Weltanschauung'), atau mengenai hakikat tindakan manusiawi yang membedakan manusia dari hewan (maka mempunyai bagian yang disebut 'antropologi'), juga berkaitan dengan apa dan mengapanya orang menjunjung tinggi suata 'Zat Mahatinggi yang disembahnya (maka mencakup filsafat ketuhanan atau filsafat agama) dan juga seputar hakikat tindakan susila (sehingga mempunyai bidang filsafat etika) dst.

Menurut Lorens Bagus, Kamus Filsafat, filsafat adalah upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas, atau upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata, atau upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya; bahkan penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan aneka pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Dia juga menyebut filsafat sebagai disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakan dan untuk mengatakan apa yang Anda lihat.

Sementara itu, Angus Sinclair, dalam An Introduction to Philosophy, mengatakan bahwa filsafat adalah percobaan untuk memahami alam semesta dan diri kita sendiri serta tempat diri kit dalam semesta, entah untuk kepentingan teoretis entah untuk tujuan praktis.Tiap orang pernah jutaan kali menginjakkan kakinya di halaman rumahnya. Tiap malam kita pasti pernah berbaring di tempat tidur dan memandangi langit-langit tempat kita merebahkan diri: dapat di suatu kamar mewah, dapat pula di beranda terminal bis atau stasiun kereta api, atau di bawah jembatan sekali pun. Tidak jarang kita langsung tertidur; namun tidak mustahil pada sesuatu waktu kita sulit tidur, dan mulai berpikir mengenai diri kita ini. Pekerjaan, pergaulan, kesehatan, keberhasilan, kegagalan, saudara, tetangga, dan tentang seribu satu hal. Dalam kesempatan seperti itu, Tina pernah terpikir mengenai Pernahkah Anda bertanya pada diri Anda sendiri, di manakah Anda berada saat ini? Mungkin pertanyaan ini muncul ketika kita menatap ribuan bintang di langit atau berada di pantai dengan pandangan ke arah laut lepas yang bergelora. Tiba-tiba saja kita sadar bahwa kita ada di dunia. Kita tidak menciptakan dunia dan tidak memilihnya; kita ada begitu saja di dalamnya. Karena bukan buatan kita, ada banyak hal yang tidak kita ketahui mengenai dunia, alamnya, dan orang-orang lain yang juga tinggal di dunia yang sama.
Bagaikan menyatukan sebuah puzzle dari keping-keping yang menempati pojok-pojoknya, kita harus mencoba mencari jalan dari keping-keping yang sudah kita kenal. Dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas kita yang paling biasa dipandu oleh pengetahuan-pengetahuan yang juga paling biasa. Pengetahuan tersebut kita peroleh lewat berbagai perjumpaan dengan pengalaman, dan dalam setiap perjumpaan itu, kita berusaha memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Setiap usaha untuk memahami semesta dan tempat kita di dalamnya, apakah untuk kepentingan teoretis maupun kebutuhan praktis, adalah filsafat. Kita semua adalah filsuf sejauh masih mempunyai kebutuhan untuk tahu mengenai semesta dan tempat kita di dalamnya.

Pandangan kita mengenai dunia mungkin naif dan tampak asal-asalan tetapi ia tetaplah suatu pandangan filosofis. Misalnya, seorang laki-laki yang mengatakan, “Semua cewek sama saja” sebenarnya sedang menyatakan pendapat filosofis mengenai suatu struktur sosial dengan perhatian khusus pada separoh jumlah umat manusia yang dianggap punya perilaku yang menjengkelkan. Lumrahnya, tak ada orang yang menyebut omongan laki-laki tadi filosofis karena filsafat selalu dikaitkan dengan sesuatu yang serius dan rumit. Namun demikian, perbedaan sebenarnya hanyalah bahwa yang satu adalah filsafat yang sederhana sedangkan yang lain adalah filsafat yang dipikirkan secara serius. Keduanya tetap sama-sama merupakan usaha memahami dunia.

B. Enigma

Untuk memahami semesta, hal pertama-tama yang dibutuhkan adalah ketakjuban. Seorang anak yang mulai bisa berbicara biasanya akan merepotkan orang-orang di sekelilingnya dengan macam-macam pertanyaan yang terdengar aneh untuk orang dewasa. Misalnya saja, ketika anak itu diajak naik mobil, dia akan bertanya mengapa pohon-pohon di sepanjang jalan berlari ke arah yang berlawanan. Atau ketika diberi mainan, mainan itu akan dibongkarnya. Filsuf dan anak-anak punya kesamaan. Mereka sama-sama terus dikuasai oleh ketakjuban dan rasa ingin tahu. Bagi mereka, dunia ini adalah enigma, teka-teki yang mengundang penasaran.
Bagi kebanyakan orang lain, dunia ini tidak mengherankan. Seperti orang dewasa yang menertawakan pertanyaan anak kecil, tak ada lagi rasa ingin tahu. Apalagi ilmu pengetahuan modern telah berhasil menyingkapkan banyak misteri alam. Saat masih berupa misteri, orang berspekulasi mengenai wajah bulan yang kelihatan hitam-hitam di beberapa bagian. Ada pula macam-macam legenda mengenai orang yang ada di bulan. Sekarang, kita tahu persis seperti apa bulan itu. Tak perlu lagi berdebat apalagi berspekulasi mengenai satelit bumi itu.

Dalam kehidupan sehari-hari ada banyak teka-teki tersebar di sekeliling ruang hidup kita. Akan tetapi banyak orang tidak lagi direpotkan oleh teka-teki itu. Karena telanjur biasa, teka-teki itu tidak menarik lagi. Misalnya, apa yang menarik dari air yang mendidih ketika dipanaskan? Berapa kali dalam satu hari kita sadar bahwa gaya gravitasi membuat kita masih menempel di permukaan bumi? Kebiasaan. Inilah kunci dari sikap acuh manusia. Kebiasaan menumpulkan rasa ingin tahu kanak-kanak yang sebenarnya ada dalam diri setiap orang. Filsafat bertugas untuk memulihkan rasa ingin tahu tadi pada manusia.
Sokrates pernah berujar, “Hanya satu hal yang kutahu, yaitu bahwa aku tidak tahu apa-apa." Bukan pengetahuan yang membuat orang bijaksana, melainkan sikap ingin tahu karena sadar bahwa dirinya tidak tahu apa-apa. Memang demikianlah, kata “filsafat” berasal dari dua kata Yunani philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Kata “filsafat” pertama kali dipakai oleh Phytagoras ketika membantah orang-orang yang menyebutnya orang bijak. Phytagoras protes bahwa dia bukan orang bijak karena justru kebijaksanaanlah yang ia cari. Menurutnya, ia sekedar seorang yang mencintai kebijaksanaan. Cinta pada kebijaksanaan berarti tanpa henti mencari kebenaran dipandu oleh ketakjuban.

C. Mitos

Teka-teki semesta pada mulanya ditanggapi oleh manusia dengan menciptakan mitos atau legenda. Mitos itu berisi kisah yang biasanya menceritakan asal mula sesuatu atau terjadinya suatu peristiwa. Gerhana matahari, misalnya, dalam tradisi masyarakat Jawa dipahami sebagai peristiwa Batara Kala (dalam rupa sesosok raksasa) yang memakan matahari. Di setiap kelompok etnis di nusantara ini, kita bisa menemukan kisah-kisah mengenai penciptaan bumi, hujan, petir, dan manusia.
Dalam peristiwa-peristiwa alam tersebut, kekuatan adikodrati berperan dominan. Meskipun begitu manusia tidak diam saja. Ia harus berpartisipasi di dalamnya. Partisipasi manusia itu diwujudkan dalam bentuk ritus. Dalam peristiwa gerhana matahari tadi, orang-orang harus memukuli lesung dan segala alat yang menimbulkan bunyi supaya Batara Kala segera memuntahkan matahari. Mitos-mitos tersebut bukan sekedar kisah hiburan atau untuk menakut-nakuti anak kecil. Mitos itu dimaksud untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa di sekeliling kita.
Filsafat menandai berakhirnya mitos sebagai penjelas teka-teki dunia ini. Dalam filsafat orang mulai menggunakan penalarannya untuk memeriksa keyakinan-keyakinan yang selama ini memandu kehidupan. Para filsuf Yunani yang pertama memulai proyeknya dengan mengritik mitos-mitos dan para dewa-dewi. Bagi mereka mitos dan para dewa hanyalah rekaan manusia saja. Dengan demikian, filsafat juga berarti gerakan demitologisasi. Filsafat menelanjangi mitos dan membebaskan manusia dari cengkeraman keyakinan mitologis yang tidak masuk akal.
Sekalipun demikian, tidak berarti riwayat mitos berakhir sama sekali. Ada kebenaran-kebenaran filosofis yang lebih menarik bila diterangkan dengan menggunakan mitos-mitos itu. Plato misalnya, memakai mitos manusia gua untuk menerangkan gagasan mengenai pengetahuan sejati. Lagipula, kehidupan modern pun sulit menghindar dari mitos; ia malah menciptakan mitos-mitos baru dalam rupa ideologi, kisah-kisah sukses, iklan, dan lain-lain. Oleh karena itu, filsafat sebagai demitologisasi akan selalu relevan.

Beberapa sifat filsafat sebagai ilmu

1. Mencari asas
Suatu ilmu biasanya mengandung dua jenis objek yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sasaran penyelidikan yang berada dalam ruang lingkup ilmu tersebut. Fisika menyelidiki dunia materi; psikologi menyelidiki jiwa manusia. Objek formal adalah sudut pandang yang digunakan ilmu tersebut dalam melakukan penyelidikan. Bila hanya memperhatikan objek materialnya, ilmu-ilmu alam (fisika, kimia, geologi) mempunyai objek yang sama yaitu dunia materi dari alam, sementara ilmu-ilmu sosial (sosiologi, antropologi, ekonomi) juga sama-sama menyelidiki bentuk-bentuk relasi antarmanusia. Objek formal membedakan ilmu politik dari ekonomi karena ilmu politik menyelidiki relasi-relasi sosial antarmanusia dari sudut perebutan kekuasaan sementara ekonomi dari sudut kegiatan tukar-menukar barang dan jasa. Lalu bagaimana dengan filsafat?
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dari sudut adanya. Dari rumusan ini kelihatan bahwa filsafat tidak memilih objek material yang tertentu. Kita nantinya akan menjumpai, sejak awal sejarahnya filsafat sudah merambah ke berbagai bidang: alam semesta, angka-angka, musik, kekuasaan, pengetahuan. Atau mungkin lebih tepat dikatakan bahwa ilmu-ilmu lain berinduk pada dan mengambil bagian dari filsafat. Yang membuat filsafat khas sebagai ilmu adalah objek formalnya. Filsafat membicarakan segala sesuatu dari sudut adanya. Ini berarti filsafat memusatkan perhatiannya pada asumsi-asumsi atau pengandaian-pengandaian yang mendasari suatu kenyataan.
Asumsi-asumsi tersebut umumnya diandaikan begitu saja dalam ilmu-ilmu empiris. Adalah tugas filsafat untuk memeriksa asumsi-asumsi dan mencari hubungan logis di antara asumsi-asumsi tersebut. Dengan kata lain, filsafat bekerja dengan mencari asas atau prinsip paling dasariah dari suatu kenyataan. Filsafat tidak puas dengan hal-hal yang tampak di permukaan. Ia akan terus mencari ada apa di balik yang kelihatan itu.
Mengenai asumsi tersebut, ada dua kenyataan yang menjadi perhatian filsafat. Pertama, kita selalu mempunyai asumsi. Tanpa asumsi, hidup ini menjadi terlalu repot. Misalnya, setiap kali memasuki kamar yang gelap kita memencet tombol untuk menghidupkan lampu. Jelas lampu akan menyala kalau tombolnya dipencet; kita tak perlu repot-repot memikirkan mengapa lampu menyala. Kenyataan kedua, kita lebih sering tidak sadar bahwa kita mempunyai asumsi. Sangat sering kita berbicara mengenai agama tanpa memeriksa ide-ide dasariah yang menentukan fenomen yang disebut agama itu.
Asumsi-asumsi tersebut bisa sangat menentukan kehidupan kita. Misalnya, petani modern berasumsi bahwa setiap tahun musim akan selalu berganti, dan menyesuaikan pola tanam seturut pergantian musim. Masyarakat yang masih sangat tradisional percaya bahwa pergantian musim itu tidak otomatis. Maka mereka membuat ritual korban untuk mengundang musim tanam. Asumsi kedua ini membuat orang harus melakukan hal-hal yang bagi orang modern dianggap tidak produktif. Filsafat bertugas memeriksa asumsi-asumsi tersebut dan menantang kita agar mengangkatnya ke tingkat sadar.

2. Membicarakan barang lama secara baru
Sebagai ilmu, filsafat juga mempunyai perbedaan mendasar lain dibandingkan ilmu-ilmu lain. Ilmu-ilmu biasanya mengajarkan fakta baru kepada yang bersangkutan. Bila belajar kimia, Anda akan mendapati sekian unsur dalam tabel unsur kimia. Psikologi mengajarkan berbagai bentuk sublimasi sebagai strategi mengatasi tekanan. Memang ada fakta baru yang diajarkan filsafat, namun pada umumnya filsafat membicarakan hal-hal yang sudah kita tahu. Bedanya, filsafat membicarakannya secara baru. Hal ini menuntut usaha ekstra dari semua saja yang ingin belajar filsafat persis karena kombinasi antara objek yang biasa dan cara yang tidak biasa itu.

3. Tidak baku
Keistimewaan lainnya, filsafat itu tidak baku. Bila mempelajari bahasa Inggris, Anda akan menemukan satu paket informasi yang bernama tata bahasa atau grammar. Lalu Anda juga akan belajar percakapan-percakapan paling dasar. Dalam setiap ilmu ada semacam “kanon” atau paket baku informasi yang mau tidak mau harus diketahui kalau mau mempelajari ilmu tersebut di manapun. “Kanon” tersebut adalah pengendapan dari kesepahaman umum yang berlaku dalam disiplin ilmu tersebut. Misalnya, dalam biologi, studi mengenai anatomi hewan tak bertulangbelakang di mana-mana sama. “Kanon” ini tidak dapat tidak dipelajari kalau seseorang mau menguasai ilmu tersebut. Dalam filsafat tidak ada kesepahaman umum semacam itu. Memang, kita perlu tahu beberapa pemikiran Plato dan Aristoteles, namun pada prinsipnya filsafat membuka ruang seluas mungkin untuk menjadi tidak konvensional seturut hakikat filsafat yang adalah pencarian.

D. Pertanyaan-pertanyaan filosofis

Sebagai sebentuk pencarian, filsafat bekerja terutama dengan mengajukan pertanyaan. Metode bertanya sebenarnya tidak khas untuk filsafat. Semua ilmu pengetahuan juga mengajukan pertanyaan, dan pertanyaannya dibatasi oleh objek material dan formalnya. Dalam filsafat yang “membatasi” pertanyaan adalah objek formalnya. Sebenarnya tidak tepat kalau dikatakan “membatasi” (karena itu diletakkan dalam tanda kutip) karena objek formal filsafat justru mendorong pertanyaan filosofis untuk sedalam dan sepuas mungkin menggali lapisan-lapisan kenyataan. Pada dasarnya, ada empat unsur pokok dalam filsafat yang membimbing pertanyaan-pertanyaan filosofis. Empat unsur ini sekaligus menentukan cabang-cabang filsafat.

1. Metafisika
Pertanyaannya adalah “Apa yang merupakan realitas puncak?” Pertanyaan ini mengarahkan penyelidikan kita untuk menyelidiki realitas di balik realitas materi, “meta” (mengatasi) “fisika” (dunia materi). Dengan kata lain, metafisika mencari hakikat terdalam dari realitas. Apakah Tuhan ada? Apakah jiwa sungguh dapat dibedakan dari badan? Apakah manusia sungguh bebas?

2. Epistemologi
Unsur kedua berkaitan langsung dengan penyelidikan metafisis tersebut yaitu epistemologi. Metafisika berusaha mendapatkan pengetahuan mengenai realitas terdalam, dan epistemologi bertanya sejauh mana pengetahuan manusia dapat menjangkaunya. Epistemologi merupakan unsur pokok dalam filsafat yang bertugas meneliti asal-usul, hakikat dan jangkauan pengetahuan. Apakah pengalaman merupakan sumber yang dapat diandalkan untuk mendapatkan pengetahuan? Apa ukuran dari sebuah kebenaran?

3. Logika
Kalau unsur pertama dan kedua tadi sangat teoretis, unsur ketiga dan keempat bersifat lebih praktis. Unsur ketiga adalah logika yaitu filsafat yang bertugas mengembangkan dan memeriksa asas-asas dan prosedur penalaran yang menjamin kebenaran rasional. Konkretnya, logika mencari prinsip-prinsip untuk menilai apakah suatu pernyataan dapat dibenarkan atau tidak. Mengapa pernyataan “Semua anjing adalah kucing. Sokrates adalah anjing. Maka Sokrates adalah kucing” dianggap valid? Atas dasar prinsip-prinsip tersebut kita juga bisa menilai apakah suatu definisi dapat dikatakan valid atau tidak

4. Etika
Unsur keempat adalah etika yang bertugas menyelidiki prinsip-prinsip yang mendasari perilaku manusia. Etika tidak menentukan apakah yang baik dan apakah yang jahat, melainkan bagaimana kita tahu bahwa sesuatu itu baik atau jahat. Apakah kesenangan merupakan satu-satunya ukuran untuk menentukan bahwa sesuatu itu baik? Apakah tujuan yang baik dapat membenarkan sarana yang kurang baik? Dari sini dirumuskan kewajiban-kewajiban etis manusia.

Keempat unsur tersebut masih dapat dirinci menjadi sekian cabang filsafat lagi. Sebut saja filsafat politik, filsafat agama, filsafat bahasa, dan sebagainya. Tanpa memasuki cabang-cabang yang lebih rinci itupun kita mendapat kesan bahwa filsafat mempunyai klaim yang paling luas daripada ilmu-ilmu lain. Filsafat Yunani memperlihatkan minat yang sangat jelas pada unsur-unsur pokok tersebut. Perkenalan dengan filsafat Yunani akan mengajak kita berkenalan dengan unsur-unsur pokok dari filsafat.

Diskusikan pernyataan-pernyataan berikut ini:
1. Filsafat perlu jadi rekan teologi demi kelangsungan dan perkembangannya.
2. Filsafat karena tak mampu menjelaskan serta bersifat post factum.
3. Filsafat sama sekali berbeda dari ilmu-ilmu alam.
4. Humanisme maupun naturalisme tak memadai sebagai asumsi Filsafat.
5. Objek Filsafat adalah “human beings as concept-bearing agents”.

Plato, Sang Filsuf Mengenai Yang Ideal

Sejak masa mudanya, PLATO (427-347 SM) adalah murid dan pengagum Sokrates. Tidak heran kalau filsafatnya amat dipengaruhi oleh pandangan gurunya itu. Namun tidak seperti Sokrates, Plato rajin menulis buku dengan gaya sastra bermutu tinggi. Karangannya yang terakhir, Nomoi (=Undang-Undang) bahkan belum rampung ditulis saat Plato menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia 80 th. Oleh sebab itu, Cicero mengatakan, “Plato scribens est mortuus” (=Plato meninggal sedang menulis).
Kalau kita mencoba mencermati ciri corak filsafat Plato, maka kita akan menemukan adanya tiga sifat khusus filsafat Plato. Pertama, bersifat “sokratik”. Dalam karya-karya yang ditulis pada usia mudanya, Plato selalu menampilkan kepribadian dan perkataan Sokrates sebagai topik sentral karangannya. Kedua, berbentuk dialog. Hampir semua karya Plato berbentuk atau bernada dialog (misalnya, tanya-jawab, kalimat retoris). Hal ini memang di satu pihak merupakan ungkapan rasa takjub dan takzim Plato yang tulus kepada Sokrates, gurunya, yang juga memakai metode dialog/bercakap-cakap dalam berfilsafat. Di lain pihak Plato sendiri dalam Surat VII berpendapat bahwa pena dan tinta itu membekukan pemikiran sejati dalam huruf-huruf yang membisu. Kalau toh pemikiran itu perlu dituliskan, bentuk yang paling cocok untuk itu adalah bentuk percakapan (dialog-dialog). Ketiga, adanya mitos-mitos. Plato memakai mitos untuk mengemukakan ajarannya mengenai hal-hal abstrak dan adiduniawi (misalnya tentang ide-ide, keutamaan, jiwa). Khususnya berkat kedua ciri corak yang disebut terakhir inilah (ciri dialog dan adanya mitos-mitos), karya-karya Plato tidak bisa disebut sebagai karya ilmiah yang sistematis dan berurutan logis, melainkan sebagai karya sastra.

Kesimpulan mengenai dualisme Plato
Plato tumbuh dalam suasana negara kota yang mulai redup, kehilangan kejayaannya. Dihukumnya Sokrates, warga Athena yang paling setia, menjadi petunjuk paling jelas dari kemunduran negara kota Athena. Plato bangkit dengan semangat untuk mempertahankan gagasan mengenai negara kota secara ilmiah. Dalam pencariannya ini, Plato memusatkan perhatian pada gagasan mengenai Ide-ide. Gagasan mengenai Ide-ide ini dijabarkan dalam tiga tema khusus yaitu pengetahuan, realitas, dan nilai.

(1) Dualisme epistemologis: Pengetahuan Universal dan Pendapat Partikular
Dalam wilayah pengetahuan, Plato membedakan dua pendekatan mendasar: indera dan akal. Pengenalan inderawi menangkap objek-objek yang terus-menerus berubah, relatif, dan partikular. Kesimpulannya, pengenalan inderawi hanya menghasilkan pendapat-pendapat yang dapat keliru, bukan pengetahuan yang sejati. Pengetahuan sejati yang mestinya stabil, mutlak, dan universal hanya ada pada pengertian, hasil kerja akal. Pengertian akan objek universal tertinggi merupakan jenis pengetahuan yang tertinggi, sementara pengenalan akan objek partikular yang paling rendah merupakan jenis pendapat yang paling rendah.

(2) Dualisme metafisis: Realitas dan Fenomena
Seturut dua jenis pengenalan tadi, Plato membedakan dua jenis entitas yang sama sekali berbeda. Pengenalan inderawi menangkap fenomena, sementara pengertian akal menangkap realitas. Sahnya pengetahuan yang sejati menuntut Ide-ide yang menjadi rujukan objektif bagi konsep-konsep universal. Objek-objek fenomenal hasil pengenalan inderawi hanya real dan rasional sejauh berpartisipasi pada Ide-ide yang sepenuhnya real.

(3) Dualisme etis: Nilai-nilai ideal dan Nilai-nilai fenomenal
Dualisme tadi menjadi praktis dalam teori Plato mengenai nilai-nilai individual dan sosial. Semakin seseorang berusaha bertindak seturut Ide-ide etis, semakin ia mewujudkan dalam hidupnya nilai-nilai yang sejati seperti keadilan dan keberanian. Semakin ia mengejar nafsu-nafsu irasional, semakin hidupnya menjadi tidak real dan palsu.



FILSAFAT KONTEMPORER

PERIODISASI FILOSOFI:

Pertama, Filsafat Yunani dan Romawi (abad 6 SM sampai 529 M ketika Justinianus dari Byzantium menutup semua sekolah filosofi ‘kafir’ di Athena).
Kedua, Filsafat Abad Pertengahan (abad 6 sampai abad 15: yi sejak Boethius sampai Nikolaus Cusa).
Ketiga, Filsafat Modern (abad 16 sampai abad 19: yi sejak jaman Renaissance dengan tokoh utamanya Descartes dan ditutup dengan Nietzsche).
Keempat, Filsafat Kontemporer (abad 20-21). Cakupan terpenting: daerah berbahasa Jerman, Inggris dan Perancis (yang sering dianggap terbentuk tradisinya sejak abad 16 dengan Montaigne dan abad 17 dengan Descartes).
Tema-tema yang dapat dipikirkan:
Di daerah berbahasa Inggris:
Idealisme Inggris; George Moore dan Bertrand Russel dengan atomisme logis; Alfred Ayer dengan positivisme Logis; Ludwig Wittgenstein; kelompok Cambridge; kelompok Oxford, seperti Gilbert Ryle, John Austin dan Peter Strawson; Karl Popper dan rasionalisme kritis.
Di daerah berbahasa Jerman:
Neokantianisme; Wilhelm Dilthey dengan filsafat kehidupan; Neothomisme; Edmund Husserl dengan fenomenologi; Max Scheler; Nikolai Hartmann; Karl Jaspers dan filosofi eksistensi; Martin Heidegger; para filsuf Yahudi seperti Franz Rosenzweig, Martin Buber; Lingkaran Wina; Mazhab Frankfurt dengan tokoh-tokoh seperti Max Horkheimer, T.W. Adorno, Herbert Marcuse, Juergen Habermas; Hans-Georg Gadamer dan hermeneutika.


Sekarang ada banyak ilmu baru, seperti yang menyangkut computer dan ilmu perbintangan. Tidak sedikit masalah kontemporer lebih merupakan masalah yang timbul karena perebutan kekuasaan dan diselesaikan dengan kekerasan. Yang dianggap benar adalah mereka yang menang. Kemenangan itu diperoleh tidak jarang karena jumlah mereka besar atau karena senjata mereka lebih kuat. Maka berbicara dengan filsafat tidak membawa penyelesaian bagi masalah kontemporer.
Filsafat Kontemporer mau mencermati masalah-masalah kontemporer pada lapisan terdalam: sebagai urusan setiap manusia dan mengenai manusia sedalam-dalamnya. Filsafat Kontemporer biasanya dianggap mulai pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Filsafat Kontemporer membedakan dirinya dari aliran sebelumnya kerap kali dari kritik eksplisitnya terhadap tradisi modern dan kadang kala sikapnya ’indiferens’ terhadap tradisi modern.

Di Eropa, FK pada awal abad 20 sibuk dengan mengatasi masalah yang kerap kali dikaitkan dengan ’hubungan antara manusia yang mengetahui dengan hal-hal yang diketahuinya’. Orang ingin menyatukan manusia dengan dunianya, bukan hanya dengan dirinya sendiri. Latar belakangnya adalah filsafat sebelumnya, yang menekankan sekali hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri. Contohnya: Descartes berbicara mengenai ”cogito ergo sum” yang artinya "saya berpikir, maka saya ada”. Jelasnya: adaku itu erat berkaitan dengan berpikirku. Orang masa kini berbicara mengenai ”saya membeli maka saya ada”. Artinya, adaku itu erat berhubungan dengan relasiku dengan hal dan seluruh interaksi berjual beli barang yang ada di dunia ini.
Mengapa cara baru dalam berpikir itu tumbuh? Sebab, orang tidak mau berkutat hanya dengan pikiran dan perasaan atau dirinya sendiri. Orang menyadari adanya itu justru dalam perjumpaannya dengan dunia di sekitarnya atau dunia tempat dia hidup. Semua itu menantang kita untuk berpikir: sering kali harus berpikir sendiri, tanpa bergantung pada penjelasan dari Alkitab atau Ajaran Gereja.
Untuk itu diperlukan filsafat. Karena kita hidup di jaman ini, maka kita berusaha memakai Filsafat Masakini atau Filsafat Kontemporer.

Aristoteles, Sang Filsuf Mengenai Yang Aktual

Aristoteles (384-324SM) dilahirkan di Stagira (sekarang di wilayah Yunani Utara), menjadi murid Plato selama 20 tahun. Pada tahun 324 SM ia menjadi guru Alexander Agung. Kemudian ia mendirikan sekolah sendiri yang dinamainya Lykeion sebab tempatnya dekat halaman yang dipersembahkan kepada dewa Apollo Lykeios. Tulisan-tulisan Aristoteles yang sampai pada kita kebanyakan berupa naskah-naskah perkuliahan yang ia pergunakan di sekolahnya. Dari tulisan-tulisan inilah berasal apa yang kemudian disebut Corpus Aristotelicum, yakni kumpulan karangan Aristoteles mengenai logika (Organon), ilmu pengetahuan alam, metafisika, pelbagai tulisan tentang etika, dan buku-buku mengenai estetika.

Logika

Aristoteles dalam beberapa tulisannya membagi filsafat (pengetahuan) dalam tiga kategori pokok.
(1) Filsafat teoretis: yaitu filsafat yang bertujuan mendapatkan pengetahuan semata-mata dan bukan hal-hal yang praktis. Dibagi lagi menjadi (a) Fisika atau Filsafat Alam yaitu bagian filsafat yang mempelajari benda-benda material yang dapat digerakkan, (b) Matematika yang mempelajari hal-hal yang tidak bergerak namun masih menjadi bagian dari benda, dan (c) Metafisika yang mempelajari hal-hal yang mengatasi (terpisah dari) materi dan tidak dapat digerakkan.

(2) Filsafat praktis: filsafat yang bertujuan tidak hanya untuk mendapatkan pengetahuan melainkan juga untuk merumuskan tindakan, atau konkretnya mengubah cara hidup orang. Yang termasuk dalam kategori ini adalah Ilmu Politik yang di dalamnya termasuk etika, ekonomi, retorika, dan strategi.

(3) Filsafat produktif/puitis: filsafat yang sanggup menghasilkan suatu karya. Termasuk di sini adalah ilmu teknik dan kesenian.

Di luar ketiga kelompok ini, masih ada logika yaitu kerangka atau peralatan teknis yang diperlukan manusia supaya penalarannya berjalan dengan tepat. Dalam arti ini, logika bisa diterapkan pada ketiga macam filsafat atau ilmu pengetahuan tadi sebagai batu uji untuk mengetahui tingkat keilmiahannya. Logika inilah salah satu sumbangan Aristoteles yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan.
Secara umum, ajaran Aristoteles tentang logika ini meliputi ajaran-ajaran mengenai induksi, deduksi, dan silogisme. Induksi dan deduksi merupakan dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Induksi adalah metode pemikiran yang menghasilkan pengetahuan tentang yang umum dengan bertolak dari hal-hal khusus, sedangkan deduksi adalah, sebaliknya, metode pemikiran yang menemukan yang khusus dengan bertitik tolak dari hal yang umum. Cara induksi adalah cermin kegemaran Aristoteles melakukan observasi dan eksperimen terutama dalam biologi. Sekalipun demikian, Aristoteles mewarisi pula ajaran Plato gurunya yang ingin mendapatkan pengetahuan sejati yang pasti, tunggal dan universal. Dan yang menjamin pengetahuan sejati ini adalah deduksi. Bedanya, Aristoteles selalu ingin mendaratkan kembali deduksi itu pada realitas konkret, misalnya dengan mengasalkan salah satu premisnya pada hasil observasi.

Silogisme merupakan salah satu bentuk deduksi. Caranya adalah mengambil kesimpulan dari dua pernyataan atau premis yang diberitahukan sebelumnya. Misalnya, (1) Semua manusia akan mati
(2) Sokrates adalah seorang manusia
(3) Maka: Sokrates akan mati.
Dalam silogisme tersebut, pernyataan (1) adalah premis umum/mayor, pernyataan (2) adalah premis khusus/minor, dan (3) adalah kesimpulan. Kata “manusia” adalah “kata tengah” (middle term atau terminus medius)

by Galilean Mission

Blogger Template by Blogcrowds